NewsRagamRedaksi

Pril Huseno : “Yogyakarta : Elegi Sendu Masa Pandemi”

286
×

Pril Huseno : “Yogyakarta : Elegi Sendu Masa Pandemi”

Sebarkan artikel ini

Penajournalis.comYogya pada hari-hari terakhir ini, seperti sedang menyajikan lagi panggung kehidupan bagi warganya. Seperti detak Jakarta sejak New Normal dicanangkan, dua minggu belakangan warga Yogya seperti sedang “berlebaran” di jalan raya.

Jika di Jakarta peningkatan pesepeda yang “munggah” sampai 1000 persen, di Jogja mungkin tidak sebanyak itu, tapi tetap memberikan nuansa tersendiri.

Iring-iringan warga yang bersepeda tampak memenuhi jalan-jalan kota pada pagi, siang, petang dan malam hari. Ribuan orang jumlahnya, terutama pada Sabtu dan Minggu. Tak pelak membuat gerak ayunan sepeda warga seolah sedang menyanyikan lagu KLA Project dulu “Yogyakarta” : “Pulang ke kotamu, ada setampuk haru dalam rindu…”.

Tua-muda, besar-kecil, jejaka dan gadis-gadis ayu tumpah ruah menjadi tumpukan manusia bersepeda yang memenuhi areal Tugu Yogya, Jl. P Mangkubumi, Jembatan Sayidan, Jl. Malioboro, Titik Nol Kilometer sampai ke alu-alun depan Kraton.

Aparat keamanan Polri dan satpol PP Nampak kewalahan mengatur arus lalu lintas dari ribuan pesepeda. Padahal, masa New Normal sebetulnya belum betul-betul diberlakukan di Yogya. Toko-toko sepanjang Malioboro dan Mangkubumi saja masih banyak yang belum buka. Begitu pula kebanyakan tempat hiburan, wisata candi, Mall, kebun binatang, dan areal pantai sepanjang Gunung Kidul dan Parang Tritis – Parang Kusumo. Kebanyakan masih belum dizinkan buka atau dibatasi jumlah pengunjung.

Yogya memang seperti terlanjur bersenandung. Tumpukan manusia di areal Tugu Yogya dan Titik Nol Kilometer, padat dan membuat macet arus lalu lintas di Malioboro. Pemandangan kemacetan juga terjadi pada Sabtu malam minggu kemarin (13/06/2020).

Aparat keamanan dan satpol PP sibuk mengatur jalan dan menegur mereka yang tidak mengenakan masker. Tetapi, arus warga seperti tak tertahankan. Mereka seperti sedang mengalunkan koor massal “Yogya Sudah Kembali” ke segenap penjuru dunia. Lamat-lamat, suara Katon Bagaskara seakan menyeruak ke telinga dan benak pengunjung : “Terhanyut aku akan nostalgi, saat kita sedang luangkan waktu, nikmati bersama suasana Yogya…”

Namun, dibalik gejolak bawah sadar warga yang tengah menikmati era New Normal yang premature, Sultan HB X terlihat murung dan tak nyaman. Di depan pers “Sinuhun” mengutarakan kegelisahannya pada tumpukan warga di tempat-tempat strategis Yogya, yang menurutnya amat berisiko menimbulkan ledakan kasus positif covid-19. Dia mengancam, akan menutup Malioboro dan tempat lain, jika warga tidak menyadari betapa berbahayanya penumpukan massal di masa pandemi.

Maklum saja, Yogya sebagaimana kota-kota lain memang sedang berjuang keras mengatasi pandemi yang merebak. Setelah sempat mengalami nol-kasus positif pada minggu-minggu lalu, Beberapa hari kemarin, Yogya kembali menemukan 10 kasus tertular, kebanyakan memang berasal dari mereka yang paska travelling ke wilayah lain seperti Surabaya atau Jakarta.

Tetapi, warga Yogya adalah mereka yang pandai mengatur harmoni kehidupan, namun tidak menanggalkan kewaspadaan. Tanpa dikomando siapapun, secara serentak ketika awal merebaknya covid-19 di tanah air, warga Yogya melakukan lockdown otomatis di hampir semua jalan masuk kampung di kota atau perdesaan. Warga luar dilarang memasuki kampung masing-masing kecuali ada keperluan mendesak. Itupun dengan protokol kesehatan yang harus dipatuhi oleh mereka yang berkunjung.

Hal tersebut juga dilakukan pada hari raya Idul Fitri 1441 H kemarin. Warga luar kampung dilarang berlebaran selama 3 – 5 hari Idul Fitri. Praktis, semua warga Yogya hanya berlebaran melalui WA atau media sosial lain, atau per telepon.

Maka tak heran, angka kasus positif covid-19 di Yogya relatif rendah dan terkendali. Bahkan sempat nol kasus selama beberapa waktu.

Tak bisa dipungkiri, pandemi saat ini memang bak elegi sendu bagi warga Yogya yang mengandalkan pendapatan warganya (PDB) dari sektor pariwisata dan pendidikan. Hotel, kampus, tempat hiburan dan lain-lain 90 persen tutup. Kebanyakan mahasiswa pulang ke tempat asal masing-masing. Hal itu amat terasa bagi kebanyakan warga. Namun sektor ekonomi kecil di pasar-pasar tradisional tetap berjalan biasa dan mampu menghidupi warga. UMKM memang mooy..!

Sekarang, di tengah keriangan era New Normal, semua sedang menunggu–kapan kiranya Jalan legendaris Malioboro akan kembali ramai seperti biasa. Ketika flashmob anak-anak muda gagah dan cantik tiba-tiba menarikan traditional dance “Golek Menak” secara massal dan membuat takjub pengunjung sepanjang Malioboro. Biasanya dilakukan pada Selasa wage ketika jadwal Car Free Day dilakukan di Malioboro.

Masa pandemi yang menyedihkan, semoga tidak membuat Yogya dan warganya “mati harap” pada kembalinya era kejayaan Yogya dan ramainya Malioboro dan sekitarnya. Elegi pilu akan berubah menjadi Elegi Esok Pagi yang bercerita tentang rasa kangen dua insan yang saling merindu, melepas kangen sambil berujar tak mau berpisah lagi.

Seperti juga mereka yang pernah kuliah dan tinggal di Yogya, yang pasti mengungkapkan : ”Yogya itu, tersusun dari rindu, dan kepingan-kepingan kenangan yang menjadi bingkainya..” (PSO)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *