AgamaKarya JurnalistikNewsRagamRedaksi

Iwan Setiawan : Apa Makna ALLAH dan Malaikat Bershalawat Kepada Nabi?

236
×

Iwan Setiawan : Apa Makna ALLAH dan Malaikat Bershalawat Kepada Nabi?

Sebarkan artikel ini

Penajournalis.com, – MEMBACA BANYAKNYA SOALAN TENTANG KEISTIMEWAAN SHOLAWAT NABI SAW MAKA SAYA INGIN SAMPAIKAN SETIDAKNYA POST DIBAWAH INI LAYAK UNTUK MENJADI BAHAN KITA BERSAMA DALAM MEMAHAMI MAKNA DAN KEUTAMAAN BERSHOLAWAT DAN

APA MAKNA ALLAH DAN MALAIKAT BERSHALAWAT KEPADA NABI?

Salah satu ibadah yang sangat sering dianjurkan oleh para guru untuk dilakukan oleh para muridnya adalah memperbanyak bacaan shalawat kepada Rasulullah Muhammad shallallâhu ‘alaihi wa sallam. Ini perlu mengingat banyaknya keistimewaan shalawat yang tidak dimiliki oleh amalan-amalan selainnya.

Secara bahasa as-shalawât ( الصلوات ) merupakan bentuk jamak dari kata as-shalât ( الصلاة ) yang berarti berdoa.

Karenanya maka bershalawat kepada Rasulullah berarti mendoakan kebaikan bagi beliau. Ini secara bahasa. Namun demikian apakah perintah untuk bershalawat kepada Nabi memang ditujukan dan dimaksudkan agar umat ini mendoakan beliau?

Ada banyak penjelasan ulama tentang hal ini. Allah subhânahû wa ta’âlâ di dalam Surat Al-Ahzab ayat 56 berfirman: إِنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا Artinya: “Sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya selalu bershalawat kepada Nabi Muhammad. Wahai orang-orang yang beriman bershalawatlah kalian kepadanya dan bersalamlah dengan sungguh-sungguh.”
Setidaknya ada dua poin besar yang bisa dipahami dari ayat di atas, yakni: Pertama, Allah dan para malaikat selalu bershalawat kepada Nabi Muhammad shallallâhu ‘alaihi wa sallam.
Kedua, adanya perintah bagi orang-orang mukmin untuk bershalawat dan bersalam kepada beliau.
Dari kedua poin besar itu kemudian lahir beberapa pertanyaan di antaranya: Apa makna shalawat yang berasal dari Allah, para malaikat dan orang-orang mukmin?
JAWABAN SEDERHANA NYA bigini Kang.Bila shalawat memiliki makna dasar berdoa sebagaimana dijelaskan di atas, maka apa maksud Allah bershalawat kepada Nabi, apakah Allah mendoakan beliau? Bila iya, lalu Allah berdoa kepada siapa? Bila Allah telah bershalawat kepada Nabi, lalu apa faedah shalawatnya para malaikat dan faedahnya orang-orang mukmin juga diperintah untuk bershalawat?
Tidakkah shalawat-Nya Allah sudah lebih dari cukup sehingga tak dibutuhkan lagi dari selain-Nya?
Imam Al-Qurtubi di dalam kitab tafsirnya menjelaskan bahwa shalawatnya Allah kepada Nabi Muhammad berarti rahmat dan keridloan-Nya kepada beliau.
Sedangkan shalawatnya para malaikat berarti doa dan permohonan ampun (istighfar) mereka bagi Rasulullah.
Adapun shalawatnya umat beliau merupakan doa dan pengagungan terhadap kedudukan Rasulullah Muhammad shallallâhu ‘alaihi wa sallam

(Muhammad bin Ahmad Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâmil Qur’ân, Kairo, Darul Hadis, 2010, jil. VII, hal. 523).
Makna-makna ini tidak saja disampaikan oleh Al-Qurthubi tapi juga oleh para mufassir di dalam berbagai kitab mereka. Dari sini bisa dipahami bahwa shalawat yang disampaikan oleh Allah, para malaikat, dan orang-orang mukmin memiliki makna yang berbeda satu sama lain.
Shalawatnya Allah kepada Nabi jelas tidak mungkin diartikan sebagai doa bagi beliau. Karena mendoakan kebaikan bagi seseorang berarti memohonkan suatu kemanfaatan bagi orang tersebut dari pihak ketiga. Bila shalawatnya Allah dimaknai demikian maka kepada siapakah Allah memintakan kebaikan bagi Nabi-Nya? Jelas ini mustahil.
Selanjutnya ada kesamaan makna antara shalawat yang disampaikan oleh para malaikat dan shalawat yang dibacakan oleh orang-orang mukmin, yakni sama-sama bermakna doa atau permohonan kebaikan bagi beliau.
Dengan bershalawat para malaikat dan orang-orang mukmin memohon kepada Allah untuk selalu mencurahkan rahmat dan pengagugan-Nya kepada Baginda Rasulullah Muhammad shallallâhu ‘alaihi wa sallam.
Hanya saja perlu digaris bawahi pula bahwa yang demikian itu bukan berarti Rasulullah membutuhkan doanya para malaikat dan umat untuk kebaikan diri beliau. Bila Rasulullah butuh terhadap doanya malaikat dan umatnya yang berupa shalawat maka kiranya shalawat Allah kepada beliau sudah lebih dari cukup, tak ada kebutuhan doa shalawat dari selain-Nya.
Berbeda-bedanya makna shalawat yang dilakukan oleh Allah dan para malaikat serta orang-orang mukmin semuanya sejatinya dimaksudkan untuk satu hal, yakni memperlihatkan pengagungan kepada beliau dan menghormati kedudukan beliau yang luhur sebagaimana mestinya.
Hal ini sama dengan ketika Allah memerintahkan kita untuk selalu mengingat-Nya, bukan berarti Allah butuh diingat oleh hamba-Nya namun karena untuk menunjukkan kebesaran dan kedudukan-Nya.

Dalam hal ini Imam Fakhrudin Ar-Razi di dalam kitab tafsir Mafâtîhul Ghaib menjelaskan: الصَّلَاةُ عَلَيْهِ لَيْسَ لِحَاجَتِهِ إِلَيْهَا وَإِلَّا فَلَا حَاجَةَ إِلَى صَلَاةِ الْمَلَائِكَةِ مَعَ صَلَاةِ اللَّهِ عَلَيْهِ، وَإِنَّمَا هُوَ لِإِظْهَارِ تَعْظِيمِهِ، كَمَا أَنَّ اللَّهَ تَعَالَى أَوْجَبَ عَلَيْنَا ذِكْرَ نَفْسِهِ وَلَا حَاجَةَ لَهُ إِلَيْهِ، وَإِنَّمَا هُوَ لِإِظْهَارِ تَعْظِيمِهِ مِنَّا شَفَقَةً عَلَيْنَا لِيُثِيبَنَا عَلَيْهِ
Artinya: “Bershalawat kepada Nabi bukanlah karena kebutuhan beliau kepadanya. Bila Nabi membutuhkan shalawat maka tak ada kebutuhan terhadap shalawatnya malaikat yang bersamaan dengan shalawatnya Allah kepada beliau.
Shalawat itu hanya untuk menampakkan pengagungan terhadap beliau, sebagaimana Allah memerintahkan kita untuk mengingat Dzat-Nya sementara Allah tak memeiliki kebutuhan untuk diingat. Hal itu semata-mata karena untuk menampakkan sikap pengagungan terhadap beliau dari kita dan untuk Allah memberikan ganjaran bagi kita atas pengagungan tersebut.”
(Fakhrudin Ar-Razi, Mafâtîhul Ghaib, 2000 [Beirut: Darul Fikr, 1981], Jil. XXV, hal. 229)
Imam Baidlowi dalam tafsirnya menyampaikan bahwa Allah dan para malaikat bershalawat kepada Nabi artinya memberikan perhatian dalam menampakkan kemuliaan beliau dan mengagungkan kedudukannya. Sedangkan perintah kepada orang-orang mukmin untuk bershalawat kepada beliau berarti perintah agar mereka ikut serta memperhatikan pengagungan tersebut karena mereka lebih selayaknya mengagungkan Baginda Rasulullah dengan membaca shalawat Allâhumma shalli ‘alâ

Muhammad. (Nashirudin Al-Baidlowi, Anwârut Tanzîl wa Asrârut Ta’wîl, 2000 [Damaskud: Darur Rosyid], Jil. III, hal. 94)
Lebih lanjut, diperintahkannya orang-orang mukmin bershalawat kepada Nabi selain untuk mengagungkan beliau juga dimaksudkan agar shalawat menjadi sarana bagi mereka untuk mendapatkan pahala dan anugerah dari Allah yang berlimpah ruah. Dalam hal ini Rasulullah pernah bersabda: مَنْ صَلَّى عَلَيَّ وَاحِدَةً صَلَّى الله عَلَيْهِ عَشْرًا Artinya: “Barangsiapa yang bershalawat kepadaku sekali, maka Allah bershalawat kepadanya sepuluh kali.” Orang yang mendapat shalawat dari Allah berarti dia mendapatkan anugerah yang sangat besar dari-Nya. Hal ini bisa dipahami setidaknya dari ekspresi Rasulullah ketika diberitahu malaikat Jibril perihal orang yang bershalawat kepada Nabi akan mendapat sepuluh shalawat dari Allah. Saat itu Rasulullah seketika bersujud sangat lama sekali sebagai rasa syukur bahwa umatnya mendapat anugerah yang begitu besar dari Allah hanya dengan bershalawat sekali saja. Dengan demikian

sesungguhnya yang membutuhkan shalawat bukanlah diri Rasulullah, namun umat beliau. Sebab ketika seseorang bershalawat kepadanya maka ia akan mendapatkan limpahan anugerah dari shalawatnya itu.

Wallâhu a’lam.

PENGLIHATAN RASULULLAH KETIKA ISRA’ DAN MI’RAJ, MIMPI ATAU KASATMATA?

: Mayoritas ulama berpendapat, Isra’ dan Mi’raj adalah peristiwa ruh dan jasad sekaligus. Allah berfirman dalam Surat Al-Isra’ ayat 60:
وَمَا جَعَلْنَا الرُّؤْيَا الَّتِي أَرَيْنَاكَ إِلا فِتْنَةً لِلنَّاسِ
“Dan kami tidak menjadikan penglihatan yang telah Kami perlihatkan kepadamu, melainkan sebagai ujian bagi manusia.”

Di antara mufasirin ada yang memahami bahwa “ar-ru’ya” pada ayat ini bermakna mimpi. Yaitu mimpi Rasulullah tentang Perang Badar sebelum perang itu terjadi. Kenyataannya, banyak mufasirin yang mengartikannya sebagai penglihatan kasatmata Rasulullah dalam peristiwa Isra’ dan Mi’raj. Namun ada juga yang menyatakan bahwa Surat Al Isra’ ayat 60 itu adalah dalil bahwa Rasulullah itu Isra’ dan Mi’raj-nya melalui penglihatan mimpi, yaitu dengan memahami ru’ya itu sebagai penglihatan dalam mimpi. Benarkah demikian?

Tentu pandangan tersebut menyelisihi keyakinan mayoritas ulama, yang menyatakan bahwa Isra’ dan Mi’raj-nya Rasulullah itu dengan sadar ruh dan jasad.
Syekh Abul Hasan al-Wahidy (w. 467 H) dalam Tafsir Al-Quran Al-Aziz menyatakan bahwa ru’ya dalam ayat ini berhubungan dengan peristiwa Isra’-nya Rasulullah dan hal itu dengan penglihatan terjaga
. يعنى ما أرى ليلة أسرى به وكانت رؤيا يقظة
Syekh Nawawi Banten dalam Tafsir Marah Labid menyatakan
: ليلة المعراج وهي ما رآه النبى صلى الله عليه وسلم على اليقظة بعيني رأسه من عجائب الأرض والسماء

“(Penglihatan itu) pada malam Mi’raj, yaitu apa-apa yang dilihat oleh Nabi Muhammad shalallahu alaihi wasallam dalam keadaan sadar; dengan kedua mata kepala beliau dari keajaiban-keajaiban bumi dan langit.” Di bawah ini bukti riwayat bahwa Rasulullah itu melihat dengan mata kepala sendiri. Pertama, kita lihat riwayat Ibn Abbas. Dikutip oleh Al Hafidz Jalaluddin as Suyuthi dalam ad-Durrul Mantsur.

هي رؤيا عين، أريها رسول الله صلى الله عليه وسلم ليلة أسري به إلى بيت المقدس، وليست برؤيا منام

Artinya: “Ibn Abbas (menafsiri Al Isra’ ayat 60) menyatakan bahwa itu adalah penglihatan mata yang diperlihatkan kepada Rasulullah pada malam beliau di-isra’-kan ke Baitul Maqdis, dan bukan penglihatan tidur (mimpi).”

Yang mentakhrij riwayat dari Ibn Abbas bahwa ini adalah penglihatan mata, dan bukan mimpi adalah: Abdur Rozaq Sa’id Ibn Manshur Ahmad al-Bukhari At-Tirmidzi An-Nasai Ibnu Jarir Ibnu al-Mundzir Ibnu Abi Hatim At-Thabarany Al-Hakim Ibn Mardawaih Al Baihaqi Periwayatannya berasal dari para pakar hadits, termasuk Imam Bukhari, penulis Shahih al-Bukhari, juga Imam Ahmad, penulis Musnad Ahmad Ibn Hanbal. Kedua, riwayat dari Ummi Hani’ bahwa ketika Rasulullah mendeskripsikan Baitul Maqdis secara tepat maka ada yang menyebut beliau sebagai seorang penyihir. Karena itulah turun ayat ini yang menjelaskan bahwa rukya itu menjadi fitnah bagi manusia yang ingkar. Menafsirkan ayat tersebut, al-Hafidz Ibn Katsir (w. 774 H) dalam Tafsir Al-Quran Al-Karim menyatakan:

وقوله : (وما جعلنا الرؤيا التي أريناك إلا فتنة للناس) قال البخاري حدثنا علي بن عبد الله حدثنا سفيان عن عمرو عن عكرمة عن ابن عباس (وما جعلنا الرؤيا التي أريناك إلا فتنة للناس) قال هي رؤيا عين أريها رسول الله صلى الله عليه وسلم ليلة أسري به…. وكذا رواه أحمد وعبد الرزاق وغيرهما ، عن سفيان بن عيينة به ، وكذا رواه العوفي عن ابن عباس وهكذا فسر ذلك بليلة الإسراء مجاهد وسعيد بن جبير والحسن ومسروق وإبراهيم وقتادة وعبد الرحمن بن زيد وغير واحد…. وتقدم أن ناسا رجعوا عن دينهم بعدما كانوا على الحق لأنه لم تحمل قلوبهم وعقولهم ذلك فكذبوا بما لم يحيطوا بعلمه وجعل الله ذلك ثباتا ويقينا لآخرين ولهذا قال : (إلا فتنة) أي اختبارا وامتحانا

Artinya: “Imam Bukhari mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ali ibnu Abdullah, telah menceritakan kepada kami Sufyan, dari Amr, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas, sehubungan dengan Al-Isra: 60 bahwa yang dimaksud dengan “rukya” dalam ayat ini ialah pemandangan mata yang diperlihatkan kepada Rasulullah di malam Isra. Hal yang sama telah diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Abdur Razzaq, dan lain-lainnya, dari Sufyan ibnu Uyaynah dengan sanad yang sama. Hal yang sama telah diriwayatkan oleh Al-Aufi, dari Ibnu Abbas.

Hal yang sama telah ditafsirkan oleh Mujahid, Sa’id ibnu Jubair, Al-Hasan, Masruq, Ibrahim, Qatadah, dan Abdur Rahman ibnu Zaid serta lain-lainnya yang bukan hanya seorang, bahwa hal itu terjadi di malam Isra’. Dalam kisah Isra’ disebutkan bahwa ada segolongan orang menjadi murtad dari agama yang hak setelah mendengar kisah ini; karena kisah ini tidak dapat diterima oleh hati dan akal mereka, maka mereka mendustakannya. Akan tetapi, Allah menjadikan kisah ini sebagai kekokohan iman dan keyakinan sebagian manusia lainnya. Karena itulah disebutkan oleh firman-Nya إِلا فِتْنَةً (melainkan sebagai ujian).

Yakni sebagai cobaan dan ujian buat mereka.”

DOA Doa Rasulullah untuk Hasan dan Husein dari Bahaya Ular Ahad 22 Desember 2019 21:15 WIB Share: Rasulullah pernah berdoa agar kedua cucunya terhindar dari ular Ular termasuk hewan melata yang berbahaya bagi manusia. Ular dapat menyengat dengan bisanya dan melilit manusia, tanpa kecuali anak-anak. Selain ikhtiar lahiriah, kita dianjurkan berdoa untuk melindungi anak-anak dari kemungkinan bahaya ular. Berikut ini doa yang dapat dibaca diri sendiri untuk berlindung dari bahaya ular. أَعُوْذُ بِكَلِمَاتِ اللهِ التَّامَّاتِ مِنْ كُلِّ شَيْطَانٍ وَهَامَّةٍ وَمِنْ كُلِّ عَيْنٍ لَامَّةٍ A‘ūdzu bi kalimātillāhit tāmāti min kulli syaithānin wa hāmmatin wa min kulli ‘aynin lāmmah. Artinya, “Aku berlindung dengan kalimat Allah yang sempurna dari segala setan, hewan melata, dan segala penyakit ain yang ditimbulkan mata jahat.” Adapun berikut ini adalah lafal doa yang dibaca oleh Rasulullah untuk melindungi kedua cucunya sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Bukhari. أُعِيْذُكُمَا بِكَلِمَاتِ اللهِ التَّامَّاتِ مِنْ كُلِّ شَيْطَانٍ وَهَامَّةٍ وَمِنْ كُلِّ عَيْنٍ لَامَّةٍ U‘īdzukuma bi kalimātillāhit tāmāti min kulli syaithānin wa hāmmatin wa min kulli ‘aynin lāmmah. Artinya, “Aku melindungi kalian berdua dengan kalimat Allah yang sempurna dari segala setan, hewan melata, dan segala penyakit ain yang ditimbulkan mata jahat.” عن ابن عباس رضي الله عنهما قال كان النبي صلى الله عليه وسلم يعوذ الحسن والحسين ويقول إن أباكما كان يعوذ بها إسماعيل وإسحاق أعيذكما بكلمات الله التامة من كل شيطان وهامة ومن كل عين لامة Artinya, “Dari Ibnu Abbas RA, ia bercerita bahwa Nabi Muhammad SAW mendoakan perlindungan Hasan dan Husein. Rasul bersabda, ‘Sungguh, bapak kalian Ibrahim melindungi Ismail dan Ishak dengan dengan kalimat ini, ‘U‘īdzukuma bi kalimātillāhit tāmāti min kulli syaithānin wa hāmmatin wa min kulli ‘aynin lāmmah.’’” Doa ini diriwayatkan oleh Imam Bukhari yang dinukil oleh Imam Ibnul Qayyim Al-Jauziyyah dalam kitab Al-Wabilus Shayyib minal Kalimit Thayyib, (Kairo, Darud Diyan lit Turats: 1987 M/1408 H), halaman 168. Wallahu a‘lam. (Alhafiz K)

ALLAH DAN MALAIKAT PUN BERSHALAWAT KEPADA NABI MUHAMMAD

Nabi Muhammad adalah manusia paling spesial yang pernah hidup di muka bumi ini. Nur (cahaya) Nabi Muhammad sudah diciptakan Allah sebelum alam semesta ini diciptakan. Saking spesialnya, mahar yang Nabi Adam ketika menikahi Siti Hawa adalah shalawat kepada Nabi Muhammad. Perintah untuk bershalawat kepada Nabi Muhammad, tegas dan jelas termaktub dalam Al-Qur’an surat Al-Ahzab ayat 56. Dalam ayat tersebut ditegaskan bahwa jangankan manusia, Allah dan malaikat pun bershalawat kepada Nabi Muhammad. “Allah bershalawat kepada Nabi karena cinta. Malaikat bershalawat kepada Nabi karena menghormati dan kita umat Islam bershalawat kepada Nabi disamping karena cinta dan menghormati juga karena berdoa agar senantiasa mendapatkan syafaat pertolongan dari beliau di hari akhir nanti
keutamaan dari bershalawat kepada Nabi di antaranya adalah dapat menjadi umat yang dekat dengan Nabi dan diberikan rahmat oleh Allah SWT.
Dengan bershalawat juga akan dapat menjadi wasilah datangnya rezeki secara terus-menerus. “Walaupun kita merupakan umat dari Nabi yang terakhir, namun karena syafaat beliau, umat Islam akan masuk surga terlebih dahulu,”
, keutamaan lain dari shalawat adalah dibukanya pintu langit saat seseorang berdoa dengan diawali oleh shalawat. Adapun untuk redaksi bershalawat, ada berbagai macam versi. Namun, semuanya merupakan bentuk mahabbah kepada Nabi Muhammad.

Pengembangan redaksi shalawat merupakan sebuah doa yang mengiringi fadhilah dari bershalawat. “Sehingga kita kenal berbagai jenis shalawat seperti Shalawat Tib untuk doa kesehatan, Shalawat Nariyah untuk terhindar dari api neraka, Shalawat Munjiyat untuk dikabulkannya hajat dan shalawat-shalawat lainnya,” umat Islam yang bershalawat kepada Nabi sekali akan dibalas 10 rahmat oleh Allah SWT dan siapa saja yang mendengar nama Nabi Muhammad tidak bershalawat, maka ia termasuk orang-orang yang bakhil (pelit).

Dengan dasar dan dalil baik dari Al-Quran dan Hadits inilah, shalawat menjadi ibadah yang sangat dianjurkan dalam agama Islam. Sudah seharusnya tidak ada keraguan lagi terhadap fadhilah dan keutamaan bershalawat.

(Iwan Setiawan)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *