Penajournalis.com JAKARTA – Kasus keterlibatan aparat kepolisian dalam tindak pidana kembali mencuat, kali ini melibatkan Kapolres Tangerang Selatan AKBP Victor Inkiriwang yang dimutasi setelah diduga terlibat perdagangan narkotika. Nama Victor disebut-sebut mencoba mengumpulkan dana hingga Rp20 miliar melalui bisnis haram tersebut – angka yang sama dengan kasus serupa yang melibatkan AKBP Bintoro yang diduga memeras Bos Prodia.
Fenomena ini menimbulkan pertanyaan besar tentang integritas aparat penegak hukum, yang banyak pihak sebut sebagai “tradisi buruk” yang berulang di Polri, kejaksaan, dan pengadilan mulai dari tingkat PN hingga MA.
Budaya Setoran dan “Cuan” untuk Naik Pangkat
Salah satu faktor pendorong maraknya praktik kriminal di Polri adalah budaya setoran kepada atasan. Seorang polisi bernama Aksan di Sulawesi Selatan pernah mengungkapkan bahwa hampir setiap jenjang karier – mulai dari masuk pendidikan kepolisian, kedinasan, pindah tugas, hingga naik pangkat – membutuhkan biaya besar.
Dalam tayangan YouTube (https://www.youtube.com/watch?v=LQEbDBIO_LE), seorang narasumber dekat pejabat tinggi Polri bahkan menyebutkan bahwa harga satu bintang di pundak jenderal bisa mencapai Rp20 miliar. Hal ini memperkuat dugaan bahwa banyak perwira menengah berlomba mencari “cuan” sejak dini untuk menyiapkan dana meraih pangkat brigadir jenderal setelah menjadi kombes, menciptakan lingkaran setan di lingkungan kepolisian.
Sanksi Ringan untuk Aparat, Hukuman Berat untuk Rakyat
Ironisnya, sanksi yang dijatuhkan kepada aparat yang terjerat kasus berat seperti narkotika atau pemerasan seringkali hanya sebatas mutasi, demosi, atau pemberhentian tidak dengan hormat (PDTH). Hukuman pidana jarang ditegakkan secara tegas.
Bandingkan dengan nasib warga sipil yang melakukan tindak pidana serupa, yang bisa dijatuhi hukuman mati atau minimal 20 tahun penjara. Perbedaan perlakuan ini menimbulkan pertanyaan: apakah keadilan di negeri ini hanya berlaku bagi segelintir orang?
Kritik Keras dari Wilson Lalengke
Ketua Umum Persatuan Pewarta Warga Indonesia (PPWI) Wilson Lalengke menyampaikan kecaman keras terhadap mutasi yang diberikan kepada AKBP Victor. Menurutnya, mutasi bukan hukuman yang sepadan dengan tindak pidana narkotika – Victor seharusnya di-PTDH dan dibawa ke meja hijau.
“Polri mengelola anggaran ratusan triliun dari uang rakyat, jadi wajar publik menuntut transparansi yang lebih tinggi,” ujar Wilson, yang juga alumni PPRA-48 Lemhannas RI 2012, Sabtu (21/12/2025). Ia mendesak Presiden melakukan pembenahan serius, menyoroti bahwa akar masalah terletak pada unit SDM Polri yang memiliki wewenang promosi dan pengangkatan.
“Jika proses promosi masih sarat jual-beli jabatan, kasus serupa akan terus berulang. Reformasi menyeluruh di SDM menjadi keharusan, bahkan Kapolri harus dicopot segera!” tegas petisioner HAM Komite Keempat PBB itu.
Potret Buram Penegakan Hukum dan Harapan Reformasi
Kasus Victor hanyalah satu dari banyak potret buram penegakan hukum di Indonesia. Publik sudah terlalu sering mendengar kabar aparat yang terlibat narkoba, pemerasan, dan korupsi, namun jarang berujung pada hukuman berat. Hal ini menimbulkan frustrasi dan merusak kepercayaan terhadap institusi negara.
“Meski situasi tampak suram, masih ada harapan jika pemerintah berani reformasi menyeluruh – bukan hanya mengganti pejabat, tapi menyentuh akar masalah: budaya setoran, jual-beli jabatan, dan lemahnya sanksi,” tambah Wilson. Ia menekankan bahwa reformasi SDM yang transparan dan meritokratis, serta penegakan hukum yang tegas bagi semua orang, adalah kunci agar Polri kembali dipercaya masyarakat.
Kasus Kapolres Tangsel bukan sekadar persoalan individu, melainkan masalah sistemik yang harus segera diberantas. Kecaman Wilson menjadi pengingat bahwa masyarakat berhak menuntut keadilan dan transparansi dari institusi yang dibiayai uang rakyat.
(TIM/Red)
Sumber: PPWI
Editor: Asep NS















