BeritaGMOCT (Gabungan Media Online dan Cetak Ternama)Lintas DaerahLintas ProvinsiNewsPena JournalisTopik Terkini

Konstitusi, Pendidikan, dan Paradoks Indonesia: Menuju Mercusuar Dunia?, oleh Yudhie Haryono

62
×

Konstitusi, Pendidikan, dan Paradoks Indonesia: Menuju Mercusuar Dunia?, oleh Yudhie Haryono

Sebarkan artikel ini

Penajournalis.com Jakarta 28 Juni 2025 – Indonesia, negara dengan jumlah sarjana yang terus meningkat, mengalami paradoks yang memprihatinkan. Meskipun Konstitusi menjamin hak pendidikan bagi setiap warga negara dan memprioritaskan anggaran pendidikan minimal 20% dari APBN, kenyataannya kesenjangan pendidikan masih menganga lebar. Hal ini diungkapkan oleh Yudhie Haryono, CEO Nusantara Centre, dalam sebuah wawancara baru-baru ini.

Data BPS per Desember 2024 menunjukkan jumlah sarjana mencapai 12.091.571 jiwa. Angka ini, meskipun besar, belum cukup untuk mengangkat martabat Indonesia di dunia. Justru sebaliknya, beberapa indikator kesejahteraan justru menunjukkan tren yang mengkhawatirkan.

Yudhie mempertanyakan efektivitas sistem pendidikan Indonesia. Ia menyoroti sejumlah permasalahan krusial, di antaranya: kurikulum yang dinilai belum sepenuhnya mencerminkan kebutuhan Indonesia, SDM guru yang masih perlu ditingkatkan, biaya pendidikan yang tinggi dan tidak terjangkau bagi sebagian besar masyarakat, serta akses pendidikan yang belum merata, terutama di daerah terpencil. Kurangnya fasilitas pendidikan, SDM yang rendah, minimnya dukungan teknologi, dan perbedaan kualitas pendidikan antara perkotaan dan pedesaan semakin memperparah situasi. Bahkan, alokasi anggaran pendidikan yang besar pun belum sepenuhnya efektif karena masalah birokrasi dan korupsi.

“Projek pendidikan kita, terutama di daerah terpencil, masih menjadi problema besar,” tegas Yudhie. Ia menekankan perlunya kolaborasi antara pemerintah dan masyarakat untuk mewujudkan pendidikan yang berkualitas sebagai realisasi janji proklamasi, mencetak patriot bangsa yang merdeka, mandiri, modern, dan bermartabat.

Yudhie menggambarkan Indonesia sebagai “republik paradoks” dan “negeri kontradiktif”. Negara kaya ini masih dihadapkan pada kemiskinan massal, elite beragama namun korupsi merajalela, banyak rumah ibadah namun kemaksiatan meluas, pemerintahan Pancasila namun oligarki hitam berkuasa, dan konstitusi yang sempurna namun banyak peraturan yang mencekik rakyat. Paradoks ini diperparah dengan jumlah polisi, jaksa, dan hakim yang banyak namun kejahatan tetap tinggi, serta banyaknya sarjana namun pejabat yang tidak berijazah.

Menyelesaikan paradoks ini, menurut Yudhie, hanya bisa dilakukan melalui pendidikan yang bermutu dan berkarakter Indonesia. Hal ini sejalan dengan pernyataan Presiden dalam rapat terbatas pada 23 Juni 2025, yang menekankan pentingnya pendidikan berkualitas sebagai kunci pembangunan kemandirian nasional dan pencapaian kesejahteraan.

“Pesan Presiden jelas,” kata Yohan Yudistira, Koordinator Liputan Nasional. “Pendidikan adalah kunci. Semoga agensi dan para menteri dapat merealisasikannya segera.” Tantangan besar kini terletak pada bagaimana menerjemahkan janji konstitusi dan arahan Presiden menjadi realitas pendidikan yang mampu mencetak generasi emas Indonesia, sehingga Indonesia dapat benar-benar menjadi mercusuar dunia.

Yohan Yudistira Koordinator Liputan Nasional

Editor: Asep NS 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *