Penajournalis.com – Puluhan aktivis ProDEM pada Selasa siang (28/04/2020) menggelar aksi protes menolak Perppu No 1/2020 dan RUU Omnibus Law di gedung DPR RI Jalan Gatot Subroto Jakarta.
Aksi yang berlangsung sejak pukul 13.00 dan berakhir pada 13.35 WIB tersebut dipimpin oleh Iwan Sumule, Ketua Majelis ProDEM dengan menggelar poster dan orasi para peserta aksi secara bergantian di depan pagar gedung DPR.
Dalam surat protes dan tuntutan yang disampaikan kepada DPR RI terkait penolakan atas Perppu No 1/2020 dan RUU Omnibus Law, ProDEM menyatakan keprihatinan bahwa di tengah kondisi yang memprihatinkan akibat merebaknya wabah covid-19 di Indonesia, masih saja ada oknum yang memanfaatkan situasi demi keuntungan pribadi, termasuk adanya dugaan korupsi dan potensi penyalahgunaan anggaran proyek alkes.
Sementara itu negara sedang terancam oleh resesi/krisis ekonomi akibat dari kebijakan pemerintah yang diindikasikan gagal mengalokasikan distribusi keuangan negara secara menyeluruh, selain beban utang negara yang meroket (potensi gagal bayar terhadap utang pokok + bunga pinjaman) yang harus dibayarkan ke pihak asing.
Fakta lain menunjukkan rakyat semakin miskin dan terlilit utang seperti yang dialami para pengemudi transportasi online/ojol, nasabah pinjaman online Peer to Peer lending dan berpotensi menimbulkan gejolak sosial yang sulit dihindari. Termasuk masalah kesenjangan sosial ekonomi yang tajam dan penegakan keadilan yang timpang.
Atas masalah tersebut jaringan aktivis Pro Demokrasi (ProDEM) menganggap Presiden/Pemerintah RI patut diduga telah lalai dan terlambat mengambil sikap dan tindakan, serta cenderung menutup-nutupi fakta yang sedang terjadi.
Namun demikian ProDEM mengapresiasi langkah dan kebijakan cepat yang telah diambil oleh beberapa kepala daerah di berbagai propinsi.
Untuk itu ProDEM memandang perlu menyampaikan sikap dan pandangan kepada DPR RI atas masalah yang menjadi kewenangan DPR yakni, Pertama, Masalah pemberlakuan Perppu No. 1 tahun 2020 dan Kedua, Rencana DPR RI untuk membahas dan berniat mengesahkan RUU Omnibus Law.
Kedua topik masalah hukum di atas menurut PRoDEM jelas bertentangan dengan konstitusi UUD 45 dan melanggar norma-norma dan kaidah-kaidah hukum serta sistem hukum yang patut di Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Khusus Perppu No 1/2020, ProDEM dalam tujuh point analisanya menilai adanya kenaikan batas defisit APBN ke angka 5 persen dari semula maksimal 3 persen sesuai UU No. 17/2007 tentang Keuangan Negara, mengisyaratkan adanya kepentingan untuk menyelamatkan kekuasaan Presiden dan Pemerintah, ketimbang melindungi kepentingan Negara dan rakyat.
Pasal 27 ayat 2 dan 3 Perppu No 1/2020 juga dipandang telah mengebiri fungsi hukum dan lembaga peradilan dengan mengecualikan adanya tindakan hukum dalam memperkara masalah atas pelanggaran baik secara perdata, pidana dan PTUN.
Pemerintah/Menteri Keuangan juga dinilai telah memanfaaatkan situasi ekonomi dalam negeri yang memburuk dengan adanya wabah covid-19, padahal kondisi ekonomi telah memburuk jauh hari sebelumnya. Disamping itu, ProDEM juga menilai Presiden telah keliru menafsirkan Pasal 22 (1) UUD 1945 dan Keputusan MK No. 138/PUU-VII/2009 perihal kegentingan yang memaksa untuk menetapkan Peraturan Pemerintah sebagai pengganti Undang-Undang (UU).
Semestinya, Perppu No 1/2020 tidak layak diberlakukan karena saat ini negara tidak dalam keadaan “kekosongan hukum” karena telah ada UU No 6 tahun 2018 tentang Karantina Kesehatan yang dapat dijadikan dasar hukum dalam mengambil kebijakan terkait penanganan covid-19, demikian lanjut pernyataan ProDEM.
Terkait RUU Omnibus Law, kritik ProDEM diantaranya menyatakan bahwa draft RUU tersebut merupakan hasil rekayasa untuk merespon kepentingan pemilik modal (asing), tidak aspiratif dan berpotensi merugikan kelompok usaha ekonomi rakyat kecil, buruh, petani, nelayan dan masyarakat miskin kota lainnya.
Draf RUU Omnibus Law juga harus diwaspadai karena setidaknya ada puluhan Undang-undang yang harus dibatalkan secara otomatis, yang akan menimbulkan masalah bagaimana merevisi UU terkait tersebut dan konsekwensi yuridisnya dikemudian hari.
ProDEM juga menolak rencana dalam RUU Omnibus Law tentang Hak Guna Usaha (HGU) yang akan diberikan hingga 90 tahun, lebih lama dari aturan di era kolonial yang hanya mencapai 25-30 tahun.
Oleh karenanya dalam surat pernyataan yang ditandatangani oleh Iwan Sumule dan M. Mujib Hermani selaku Ketua Majelis dan Sekjen, ProDEM menuntut agar DPR menolak dengan tegas Perppu No 1 tahun 2020 dan menuntut DPR RI agar menghentikan seluruh pembahasan RUU Omnibus Law. (Pril Huseno)