Penajournalis.com Trenggalek, Jawa Timur – Satu tahun telah berlalu sejak kasus penggerebekan dan perundungan terhadap dua anak di bawah umur di Dusun Pinggirsari, Desa Kranggan, Kabupaten Trenggalek, Jawa Timur, pada Minggu, 26 Mei 2024. Namun, kasus yang melibatkan tujuh orang dewasa yang secara paksa memasuki rumah korban ini hingga kini belum menemui titik terang. Lebih memprihatinkan lagi, penanganan yang dinilai kurang profesional oleh pihak kepolisian Polres Trenggalek justru membuat kasus ini melebar dan memunculkan berbagai permasalahan baru. Tujuh pelaku dewasa berhasil lolos dari jerat hukum.
Kasus ini bahkan menarik perhatian Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPA) dan Kak Seto Mulyadi, Ketua Lembaga Perlindungan Anak Indonesia. Keduanya dijadwalkan turun ke Trenggalek untuk meninjau langsung penanganan kasus ini dan memberikan dukungan kepada korban. Keprihatinan muncul karena Polres Trenggalek diduga lebih cenderung melindungi pelaku dan mengkriminalisasi korban beserta keluarganya.
Korban, yang kini telah pindah ke Bandung, mengalami tekanan berat dari para pelaku dan pendukungnya. Ibunya, seorang Aparatur Sipil Negara (ASN), juga mengalami tekanan dengan adanya Berita Acara Pemeriksaan (BAP) dari Badan Kepegawaian Daerah (BKD) Trenggalek, tanpa adanya kesalahan yang merugikan negara. Kejanggalan ini menimbulkan pertanyaan tentang kemungkinan adanya intervensi dari pihak-pihak tertentu.
Kasus ini juga melibatkan seorang anggota TNI, Serka AS, yang diduga melakukan pemukulan terhadap teman korban, G, di hadapan Bripka N, anggota Polsek Salamrejo Polres Trenggalek. Kejadian ini menimbulkan pertanyaan tentang profesionalitas aparat penegak hukum yang seharusnya melindungi masyarakat, bukan malah membiarkan terjadinya penganiayaan. Saat ini, Serka AS sedang diselidiki oleh Denpom Lanal Malang, sementara Bripka N sedang diusut oleh Propam Polda Jawa Timur.
Dugaan keterlibatan Kepala Desa Karangan, T alias K, yang diduga melakukan intimidasi dan intervensi terhadap ibu korban untuk menghentikan kasus ini, semakin memperumit masalah. Kades T juga telah dimintai keterangan oleh Reskrim Polres Trenggalek.
Proses penyelidikan yang diduga penuh rekayasa oleh Unit PPA Polres Trenggalek cenderung menguntungkan para pelaku. Kasus ini menjadi bukti betapa mahalnya biaya yang harus dikorbankan untuk mencari keadilan, sementara aparat penegak hukum yang seharusnya melindungi korban justru memberikan penderitaan. Hal ini menimbulkan pertanyaan besar tentang citra Polres Trenggalek di mata masyarakat. Apakah Polres Trenggalek tidak mampu atau ada hal lain yang memberikan “azas manfaat” bagi mereka? Pertanyaan ini perlu dijawab dengan transparan dan akuntabel.
Al Jupri Munawa/Din Gobin
Editor: Asep NS