News

Yusri Usman Direktur Eksekutif CERI : Dirut Pertamina Lempar Handuk Saja

158
×

Yusri Usman Direktur Eksekutif CERI : Dirut Pertamina Lempar Handuk Saja

Sebarkan artikel ini

Penajournalis.com – Semakin tipis harapan rakyat akan haknya menikmati harga BBM yang wajar di negeri ini, meskipun harga minyak dunia menunjukan angka sdh terkoreksi sekitar 70 % selama kuartal 1 Tahun 2020, ironisnya harga BBM murah hanya bisa dinikmati oleh rakyat dalam mimpi.

Hal itu terkait pernyataan Nicke Widyawati sebagai Dirut Pertamina dalam RDP dengan DPR Komisi VII pada 21 April 2020 bahwa benar harga produk BBM saat ini malah dibawah harga crude, dan Pertamina sebagai BUMN tidak bisa mengikuti formula harga BBM yang diterbitkan oleh Kementerian ESDM, kalau di ikutin kata dia, bisa nanti Pertamina tak mampu membayar gaji karyawan dan membiayai Opex (Operation Expenditure) dan capex ( Capital Expenditur) nya.

Sikap Dirut menyalahkan aturan soal BBM yang telah ditetapkan oleh Menteri ESDM itu memperlihatkan sikap putus asa dewan direksi dan dewan komisaris.

Padahal semua aturan itu berakar pada Peraturan Presiden nomor 191 tahun 2014 yang sudah dirubah dengan Perpres nomor 34 tahun 2018, semua aturan itu didasari UU Migas nmr 22 tahun 2001.

Pernyataan Dirut Pertamina itu ibarat “buruk muka cermin dibelah”, kesalahan manajemen Pertamina selama ini terbukti telah mengelola perusahaan tidak efisien dalam menjalankan proses bisnisnya dari hulu ke hilir, faktanya sudah merupakan penyakit bawaan yang kronis. Namun kenyataan itu oleh Dirut seolah ingin menyatakan ke publik kesalahan itu adanya di peraturan KESDM dan Peraturan Presiden serta UU Migas.

Padahal aturan itu sudah berlangsung lama dan beberapa kali telah direvisi sudah dilaksanakan dalam kebijakan harga BBM nasional, prinsipnya semua aturan itu untuk melindungi kepentingan Pemerintah bisa memungut pajak BBM, Kelangsungan bisnis Badan Usaha ( Pertamina dan Shell, Total, Vivo, AKR dan Petronas) dengan menikmati margin maksimal 11 % (10/90 x harga dasar) dan kemampuan Rakyat menikmati harga BBM yang dijual dengan harga wajar, bagi Rakyat tak mampu oleh Pemerintah disubsidi tetap dan dianggarkan dalam APBN, termasuk untuk harga LPG 3 kg.

Sesungguhnya kalau mau jujur, Pertamina itu sudah menyimpan penyakit bawaan yang kronis, tetapi selama tidak ada virus setara Covid 19, maka semua itu masih bisa ditutupi dengan aksi aksi penerbitan surat hutang (global bond) untuk membiayai aksi perusahaan berupa akuisi dan investasi proyek baru, istilah kasarnya gali lobang tutup lobang.

Hal yang kronis meliputi pembelian participasing interest beberapa asset blok migas diluar negeri, seperti di Malaysia, Aljazair dan Afrika (saham MnP), beberapa kontrak kontrak jangka panjang LNG yang ada, dan proses bisnis pengadaan minyak dan LPG yang belum transparan juga sampai saat ini di ISC, ternyata berbanding terbalik dengan ucapan Ahok sebagai komisaris Utama di akun twitternya.

Sebagai contohnya nyata, Pertamina telah menjual BBM Premiun Ron 88 ke industri seharga Rp 5.100 perliter diluar pajak sejak 15 April 2020, tentu pertanyaannya mengapa rakyat sampai sekarang membeli Premium Ron 88 di SPBU masih diharga Rp 6450 perliter, itupun kadang sulit ada di SPBU, sehingga rakyat terpaksa beli Pertalite atau Pertamax Ron 92.

Bahkan sekarang muncul banyak buzzer bayaran yang membuat opini bahwa kejatuhan harga minyak dunia yang terakhir dipresentasi harga WTI bisa minus USD 37 perbarel tak bisa dikaitkan harga BBM kita harus turun, itu adalah hanya sebuah angka perdagangan derivatif untuk perdagangan berjangka adalah benar.

Seolah olah Pertamina berada di ruang hampa yang terpisah dari harga minyak dunia, dan seolah olah harga minyak dunia bukan menjadi rujukan harga BBM yang dijual di wilayah NKRI.

Namun tak terbantahkan harga Dated Brent merupakan acuan harga minyak mentah dunia dan harga BBM publikasi MOPS merupakan acuan produk BBM yang sudah digunakan Pertamina selama 20 tahun dalam jual beli minyaknya.

Dan tak bisa dipungkiri bahwa KESDM, SKK migas, BPH migas, PLN semua berlangganan publikasi MOPS dan Argus yang menerbitkan harga minyak mentah dan BBM di dunia. Bahkan tidak tanggung2 biaya berlangganan publikasi itu nilainya sekitar Rp. 100 milyar/ tahun untuk tiap instansi diatas.

Oleh karena itu, sudah saatnya para pejabat publik yang digaji dengan uang rakyat untuk segera hentikan semua kebohongan itu diruang publik, agar rakyat tidak melihat bahwa terkesan negara kita diatur secara crossboy, sebaiknya lakukan kebijakan penentuan harga BBM itu sesuai aturan yang sudah ditetapkan oleh Pemerintah, dan Pemerintah dan DPR juga harus mengawasi kepentingan rakyat nya dan harus menunjukan contoh yang baik dalam menjalankan aturan yang dibuatnya sendiri, bukan sebaliknya.

Bagi Dewan Direksi Pertamina jujurlah kalau sudah tak mampu menjalankan perintah pemegang saham, bersikap satrialah nyatakan lempar handuk itu lebih baik ketimbang jadi beban negara dan rakyat. (Pril Huseno)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *