Penajournalis.com- Yogyakarta ,“Mengenang Kepergian AE Priyono”
“Saya masih bisa produktif sampai 15 tahun lagi”. Begitu seloroh mas
AE Priyono (Mas AE, biasa kami panggil) menanggapi canda teman-
teman “Forum Jogja” sekitar Maret 2014 lalu di aula resto di kediaman
Angkasa Syahrudin, aktivis Forum Jogja kala itu.
Ketika itu usia mas AE masih 56 tahun dan ia berharap masih bisa terus
berkarya sampai usia 71 tahun. Namun takdir berkata lain. Mas AE
harus berangkat memenuhi panggilanNya pada Minggu, 12/04/2020 di
usia 62 tahun.
Membaca berita kepergian mas AE bukan saja mengejutkan, tapi juga
menjadi kehilangan besar bagi aktivis pro demokrasi. AE Priyono yang
saya pahami adalah sosok intelektual, pemikir politik dan demokrasi
garda depan yang gigih.
Tema besar yang selalu menjadi ladang pergulatan pemikirannya
adalah bagaimana pelaksanaan demokrasi di Indonesia bisa terbebas
dari kepentingan individu dan kelompok, apalagi dikangkangi oligarki.
Salah satu kegelisahannya, Indonesia pasca reformasi terutama setelah
2006 tengah memasuki periode realisme demokratik, sebuah periode
stagnasi dan regresi atau kemunduran demokrasi (Usman Hamid dan
AE Priyono,2012). Bahkan ditengarai tengah mengalami era reversi,
pembalikan kembali ke arah otoritarianisme (Didik J Rachbini, 2019).
Hal itulah juga yang disampaikan mas AE ketika bersama saya
menyampaikan refleksi pada peringatan 4 November 1989 – Slamet
Saroyo, beberapa tahun lalu di kampus UII Yogyakarta.
Sebagai alumni Fakultas Hukum UII Yogyakarta dan mantan Pemred
majalah mahasiswa “Muhibbah” UII, peristiwa pembunuhan aktivis
mahasiswa UII Slamet Saroyo pada 4 November 1989, menjadi catatan
tersendiri bagi mas AE.
Peristiwa itu oleh AE Priyono disebut sebagai “periode ketika gerakan
mahasiswa sedang memasuki tahap kritis ketika harus menghadapi tiga
tantangan sekaligus, yakni otokratisme internal kampus, represi rezim
militer orde baru, dan perkubuan-perkubuan politik dan ideologis di
tubuh gerakan mahasiswa sendiri”.
Sebuah buku yang merekam peristiwa Slamet Saroyo lalu diterbitkan.
Judulnya, “Api Putih di Kampus Hijau” yang Berisi refleksi atas peristiwa
4 November 1989 di UII Yogya yang ditulis oleh 27 penulis mantan
aktivis mahasiswa di Yogya dan Jakarta. Mas AE sebagai Editor. Saya
sendiri sempat mengedit 4-5 tulisan, selebihnya digarap oleh AE
Priyono yang dia sebut “sampai termuntah-muntah”, saking lelahnya.
Buku “Api Putih” adalah satu dari sekian karya monumental mas AE
Priyono, disamping mengedit dan menerbitkan karya-karya
Kuntowijoyo “Paradigma Islam : Interpretasi untuk Aksi” dan “Dinamika
Sejarah Umat Islam Indonesia”(bersama Lukman Hakim), “Merancang
Arah Baru Demokrasi : Indonesia Pasca Reformasi” (Bersama Usman
Hamid), dan beberapa karya lain.
Pada 1990 saya sempat diamanahkan oleh mas AE untuk
mendiskusikan buku yang baru diterbitkan LP3ES “Kapitalisme Semu di
Asia Tenggara” karya Kunio,Yoshihara dalam sebuah diskusi buku
terbuka di kampus UII. Ketika itu AE Priyono sempat menjadi salah
seorang punggawa LP3ES.
Mengenal AE Priyono, sungguh membuka wawasan. Beberapa kali
diskusi hangat tentang Indonesia pasca Pemilu 2014, hingga bersama- sama mendirikan “Forum Jogja” pada Februari 2014, kerja bareng
senior Iman Masfardi, Daris Purba, Angkasa Syahrudin dan beberapa
tokoh lain. Forum Jogja sempat rutin melaksanakan diskusi bulanan
mengundang tokoh-tokoh pemikir UII dan Jogja, termasuk Tatengkeng.
Diskusi bulanan Forum Jogja kemudian beralih ke media sosial FB, dan
telah diikuti oleh lebih dari 7.800 orang.
Kini, sosok tenang itu telah pergi. Keinginannya untuk tetap berkarya
sampai 15 tahun lagi sejak 2014, akan terkabul dengan karya dan
pokok-pokok pikirannya yang tetap abadi dan diminati.
Selamat jalan mas Anang Eko Priyono.
Yogya, 12 April 2020
Pril Huseno