Penajournalis.com – Belum lama ini beredar banyak pendapat yang mendesak Indonesia perlu ‘mencetak uang’ untuk menyelamatkan perekonomian Indonesia akibat pandemi Covid-19. Mekanisme ‘mencetak uang’ ini mereka namakan, atau samakan, dengan quantitative easing (QE), yaitu kebijakan moneter yang dimotori bank sentral Amerika Serikat, the Federal Reserve atau the FED, untuk mengatasi krisis sektor keuangan akibat pecahnya gelembung kredit sektor perumahan pada 2007-2008. Kebijakan moneter QE ini juga diikuti oleh berbagai negara maju lainnya seperti Inggris, uni eropa, Jepang dan banyak lainnya.
Pandemi Covid-19 yang merebak awal 2020 membuat beberapa bank sentral negara maju menjalankan kebijakan QE lagi, dengan harapan dapat menjaga pertumbuhan ekonomi agar tidak anjlok terlalu dalam. Sehubungan dengan ini, banyak pihak yang juga mengusulkan agar Indonesia melakukan QE juga. Bahkan ada mantan menteri yang turut mengusulkan. “Indonesia harus cetak uang”, katanya, setidak-tidaknya Rp 1.600 triliun sebagai paket stimulus ekonomi.
Mekanisme QE usulan mereka (sebut saja QE ala Indonesia) dilakukan dengan cara Bank Indonesia (BI) membeli surat utang negara di pasar primer. Artinya, pemerintah dan BI melakukan transaksi secara langsung: pemerintah menerbitkan surat utang (baru) senilai Rp 1.600 triliun untuk kemudian dibeli secara langsung oleh Bank Indonesia.
QE ala Indonesia ini sangat ngawur. Mereka tidak paham apa yang dimaksud dengan QE.
QE adalah kebijakan moneter “luar biasa” yang harus diambil ketika kebijakan moneter biasa sudah tidak efektif lagi. Dalam keadaan krisis, pertama kali yang dilakukan bank sentral pada umumnya menurunkan suku bunga. Ketika ekonomi masih belum menunjukkan tanda-tanda membaik, suku bunga bisa diturunkan terus hingga mendekati 0 persen. Tujuan dari penurunan suku bunga ini agar biaya pinjaman menjadi lebih murah, meringankan beban bunga perusahaan, dan juga diharapkan menggairahkan investasi dan konsumsi. Ini merupakan stimulus ekonomi dari kebijakan moneter.
Dalam situasi suku bunga mendekati 0 persen dan ekonomi masih belum membaik, bank sentral bisa mengambil kebijakan moneter QE agar bisa lebih efektif untuk lebih menggairahkan ekonomi. Cara kerja QE sebagai berikut. Bank sentral mengumumkan akan membeli surat utang negara jangka menengah atau surat utang korporasi di pasar sekunder (open market operations), untuk sejumlah tertentu.
Sehubungan dengan krisis pandemi Covid-19, the FED sudah menurunkan suku bunga secara agresif, yaitu 0,5 persen pada 3 Maret 2020 dan 1 persen pada 15 Maret 2020, sehingga suku bunga the FED mendekati 0 persen. Pada pertengahan Maret 2020 the FED kemudian mengumumkan pembelian surat utang negara senilai 75 miliar dolar AS per hari untuk jangka waktu yang tidak ditentukan. Jumlah ini kemudian dikurangi menjadi 50 miliar dolar per hari pada akhir Maret lalu. Kebiijakan QE ini tidak ada urusannya dengan pemerintah AS.
Apabila ekonomi membaik sesuai target bank sentral, bukan target pemerintah (eksekutif), QE bisa dihentikan. Apabila kemudian ada ancaman inflasi, bank sentral bisa menjual kembali surat berharga yang dibeli melalui QE open market operations tersebut. Tujuannya agar suku bunga naik untuk meredam inflasi.
Gambaran di atas merupakan proses umum kebijakan moneter QE. Pertama, tingkat suku bunga sudah mendekati 0 persen. Sedangkan suku bunga Bank Indonesia saat ini masih “sangat tinggi”, yaitu 4,5 persen. Maka, kondisi ekonomi Indonesia saat ini sangat jauh dari bisa diberlakukan QE. Dalam situasi ini, BI masih mempunyai ruang gerak yang sangat luas untuk menurunkan suku bunga. Kenapa tidak dilakukan? Sangat tidak masuk akal, ketika suku bunga masih tinggi tapi melakukan QE.
Kedua, QE adalah kondisi di mana bank sentral membeli surat utang negara (dan korporasi) di pasar sekunder melalui open market operations. Tujuan utama QE adalah untuk menurunkan suku bunga jangka pendek dan jangka menengah. Oleh karena itu, usulan agar BI membeli surat utang negara di pasar primer berlawanan dengan mekanisme QE seperti digambarkan di atas. Pembelian surat utang negara di pasar sekunder melalui open market operations menunjukkan independensi bank sentral.
Paket stimulus AS yang mencapai 2 triliun dolar AS tidak ada hubungannya sama sekali dengan bank sentral, the FED. Paket stimulus ini diajukan pemerintah kepada DPR AS untuk dimintakan persetujuannya. Bagaimana cara mendanai stimulus tersebut bukan urusan the FED.
Oleh karena itu, QE ala Indonesia (yang mengusulkan BI beli surat utang negara di pasar primer) tidak mempunyai basis sama sekali, alias ngawur, dan termasuk pembegalan konstitusi. (Pril Huseno)