NewsRedaksi

Wawancara Eksklusif dengan Nandang Sutrisno SH.,M.Hum.,LL.M.,Ph.D : “Gugatan kepada China Terkait Covid-19 Amat Sulit Berhasil”

226
×

Wawancara Eksklusif dengan Nandang Sutrisno SH.,M.Hum.,LL.M.,Ph.D : “Gugatan kepada China Terkait Covid-19 Amat Sulit Berhasil”

Sebarkan artikel ini

Penajournalis.com – Wawancara Eksklusif dengan Nandang Sutrisno SH.,M.Hum.,LL.M.,Ph.D (28/04/2020)

Pengantar:

China saat ini tengah menghadapi gelombang gugatan oleh banyak negara di dunia terkait merebaknya wabah mematikan covid-19.
Di Amerika Serikat (AS), Selain gugatan perdata ke pengadilan federal oleh Jaksa Agung Missouri kepada China dengan tuduhan kelalaian dan mengakibatkan kematian ribuan orang serta kerusakan ekonomi hingga puluhan miliar dolar AS, gugatan class action terhadap China juga diajukan oleh ribuan warga AS yang ditangani firma hukum Berman Law Group di Miami, Florida dan menuntut ganti rugi miliaran dolar AS bagi para korban Covid-19.

Tuntutan terhadap China juga muncul di Inggris oleh Henry Jackson Society, sebuah lembaga pemikir Inggris yang menyatakan Pemerintah China bertanggungjawab atas pandemi covid-19 karena adanya upaya menutup-nutupi masalah pada tahap awal. Lembaga thinktank tersebut menyatakan negara-negara G-7 bisa menggugat gantirugi ke China hingga 3,2 triliun pound.

Begitu pula di Jerman muncul gugatan gantirugi dari tabloid “Bild” yang menerbitkan surat tagihan 24 miliar Euro untuk kerugian pariwisata selama Maret-April 2020.

Di Australia, Mendagri Peter Dutton mendesak China agar lebih transparan tentang covid-19 karena puluhan warga Australia meninggal akibat covid-19. Demikian pula muncul tuntutan gantirugi dari Israel terhadap China.

Tuntutan ditujukan kepada Pemerintahan China, Wuhan Institute of Virology, juga kepada militer China People Liberation Army (PLA).

Alasan gugatan yang diajukan adalah bahwa pemerintah China dianggap sengaja menutupi kebenaran informasi perihal penyebaran wabah covid-19 sejak pertengahan Desember 2019, dan tidak adanya upaya yang cukup memadai untuk memberikan informasi sebenarnya kepada dunia internasional. Akibatnya, hingga kini lebih dari 2,8 juta orang terinfeksi covid-19 di 210 negara dengan ratusan ribu kematian.

Disamping itu IMF juga memprediksi ekonomi dunia akan terpuruk melebihi kerugian di masa depresi besar 1930.

Sementara itu asosiasi advokat India mengajukan complain atas masalah pelanggaran HAM pemerintah China (PLA) dan Wuhan Institute of Virology terkait covid-19 ke United Nation Human Right Council.

Dapatkah China digugat secara hukum atau secara ekonomi terkait pandemi global covid-19 saat ini? Bagaimana peluang gugatan itu di pengadilan internasional?

Ahli Hukum Bisnis dan Perdagangan Internasional Nandang Sutrisno SH.,M.Hum.,LL.M.,Ph.D, yang juga akademisi Fak. Hukum dan mantan rektor Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta memberikan penilaian atas masalah tersebut melalui wawancara jarak jauh pada Kamis (24/04/2020) lalu.

Berikut di bawah ini rangkuman hasil wawancaranya:

“Hal yang harus dipahami adalah, gugatan berbagai negara dan institusi internasional kepada China melalui jalur apapun tidak akan bisa membawa China ke tuntutan ganti rugi atau tuntutan lain, misalnya tuntutan hukum.

Hal itu dikarenakan Pertama, harus dibuktikan terlebih dulu bahwa China memang melakukan “International wrong doing” atau melakukan kesalahan internasional.

Para penggugat harus bisa membuktikan bahwa china memang benar-benar melakukan International wrong doing. Kemudian kalaupun misalnya terdapat data valid, kemana gugatan tersebut akan dialamatkan?

Kedua, Gugatan secara hukum internasional akan sulit mengingat untuk kasus gugatan apalagi melalui mekanisme Pengadilan setingkat negara bagian di AS, tidak bisa menggugat sebuah negara berdaulat seperti China. Pemerintah China jelas dilindungi oleh doktrin kekebalan kedaulatan sebuah negara bangsa, sama seperti pemerintahan negara lain.

Ketiga, Kalaupun China dianggap terbukti bersalah, apakah kemudian China bersedia membayar ganti kerugian kepada negara-negara yang menggugat? Hal itu merupakan merupakan masalah tersendiri.

Keempat, Jika gugatan pelanggaran HAM kepada Pemerintah China diajukan melalui jalur Mahkamah Internasional, maka hal itu terlebih dulu harus mendapatkan persetujuan China sebagai sebuah negara.

Pengadilan Mahkamah Internasional akan bisa berlangsung apabila telah ada persetujuan kedua belah pihak, baik negara yang menggugat ataupun negara yang digugat. Masalahnya, apakah China bersedia untuk digugat?

Di sisi lain, mekanisme pengadilan HAM internasional pada dasarnya bersandar pada perjanjian HAM internasional yang diajukan berdasarkan Treaty Based Mechanism dan The Charter Based Mechanism.

Dalam Treaty Based Mechanism, mekanisme pengaduan dibentuk berdasarkan perjanjian atau konvensi HAM Internasional. Namun perjanjian internasional ini hanya berlaku dan mengikat bagi negara yang telah menandatangani dan meratifikasi perjanjian tersebut.

Pelaporanpun harus melalui pengajuan kepada Human Rights Committee (HRC) yang pembentukannya didasarkan pada International convenant on civil and political rights (ICCPR) tahun 1976. Masalahnya, apakah China telah meratifikasi ICCPR?

Kemudian dari tinjauan Charter Based Mechanism atau melalui mekanisme Piagam PBB, tidak akan menuju pada mekanisme ganti kerugian.

Mekanisme tersebut adalah prosedur penegakan HAM yang tidak dibentuk oleh konvensi-konvensi HAM akan tetapi berdasarkan piagam PBB pasal 55 dan 56 piagam PBB antara lain tentang tujuan PBB memajukan pemecahan masalah-masalah internasional dan penghormatan HAM di seluruh dunia, serta kebebasan-kebebasan dasar bagi semua, serta mandat yang dimiliki oleh dewan ekonomi dan sosial (ECOSOC).

Jadi jika negara tergugat tidak meratifikasi ICCPR maka hanya dapat dilakukan pelaporan dengan mekanisme charter based berdasarkan piagam PBB, namun hal itu perlu tinjauan lebih lanjut dan membutuhkan waktu sangat lama.

Kelima, Jika gugatan dilakukan misalnya melalui pengadilan penjahat perang internasional di Nuremberg, Jerman, maka hal itu sangat tidak mungkin karena harus mengikuti mekanisme International Criminal Court (ICC). Masalahnya baik China maupun Amerika Serikat bukan negara yang masuk sebagai anggota ICC.
Keenam, Apalagi jika gugatan dilakukan melalui resolusi Dewan Keamanan (DK) PBB. Hal itu akan semakin sulit karena China sendiri adalah negara anggota DK PBB yang mempunyai hak veto.

Jadi memang semua jalur hukum akan sulit untuk menjerat China, karena hampir semua jalur mensyaratkan persetujuan dari negara yang dituntut.

Maka yang paling mungkin saat ini adalah melalui jalur politik dimana dilakukan pembangunan opini internasional bahwa China adalah negara yang bertanggungjawab terhadap merebaknya pandemi covid-19 ke seluruh dunia.

Paling-paling yang bisa dilakukan hanya seperti upaya Presiden AS Donald Trump untuk mempermalukan China di mata dunia internasional dengan menamai covid-19 dengan sebutan “Virus China” atau “Wuhan Virus”.

Ihwal teori konspirasi yang digunakan untuk memojokkan China bahwa covid-19 adalah rekayasa laboratorium di China yang sedang mengembangkan biological war, hal itu oleh China bisa dengan mudah ditepis. China akan balik menuduh dengan menyatakan bahwa covid-19 sesungguhnya berasal dari sebuah laboratorium di AS yang disebar ke Wuhan oleh tentara AS ketika berlangsung turnamen olahraga militer antar negara.

Begitupun Jika menggunakan jalur gugatan melalui World Trade Organization (WTO). Memang, dalam Pasal 20 GATT menyebutkan perihal pembatasan impor dari suatu negara dapat dilakukan apabila produk negara tersebut dianggap dapat mengancam ataupun merusak kesehatan dan jiwa, tumbuhan ataupun hewan.

Tetapi hal itu baru bisa dilakukan jika memang ada alasan kuat untuk melakukan pembatasan impor dari negara tertentu dengan alasan keamanan, keselamatan lingkungan (alam, tumbuhan dan hewan), kesehatan dan moralitas masyarakat.

Tetapi apakah bisa untuk membuktikan bahwa produk-produk negara tertentu dapat menyebabkan penyebaran wabah terkait covid 19? Hal itu tentu amat sulit.

Sementara itu dalam sejarah pandemi global belum pernah ada satu negara yang dituntut sebagai sumber penyebaran wabah penyakit yang melanda dunia. Baru kali ini muncul gugatan kepada sebuah negara terkait penyebaran wabah berbahaya yang bukan diakibatkan oleh sebab-sebab alamiah. (Pril Huseno)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *